oleh Prof. Dr. Der. Soz Gumilar Rusliwa Somantri, Rektor Universitas Indonesia.
Disampaikan pada Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pascasarjana UPI tanggal 23 September 2010.
Percakapan mengenai jati diri bangsa menyembunyikan asumsi mengenai kesejatian yang bercokol pada fundamen sebuah bangsa. Bangsa dipersepsi sebagai entitas yang memiliki hakekat yang dengannya dia dibedakan dengan bangsa lain. Jati diri bangsa adalah sesuatu yang membuat kita lekas mengenali kebangsaan seseorang dari tutur kata, perilaku dan pandangannya. Jati diri, singkatnya, adalah semacam moralitas publik yang menjadi pegangan kehidupan orang per orang dalam sebuah bangsa.
Jati diri, bukan sesuatu yang genetik dalam sebuah bangsa. Dia hadir dalam sejarah. Dan sejarah pun bukan sesuatu yang singular. Bangsa Indonesia, misalnya, terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kesejarahannya masingmasing. Kesejarahan tersebut membentuk jati diri primordial yang berbeda satu dengan lainnya. Persoalan mengenai jati diri bangsa menyentuh sebuah perkara yang sangat fundamental: bagaimana keragaman sejarah dan tradisi dan konsekuensinya yaitu jati diri dapat membentuk kebangsaan yang utuh dan mengecualikan?
Selengkapnya klik tautan berikut ini ....
2. Sekolah Sebagai Pusat Kesenian
Oleh Ganjar Kurnia (Pencinta Kesenian).
Disampaikan pada Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pascasarjana UPI tanggal 23 September 2010
Konon kabarnya, Jawa Barat pernah memiliki kurang lebih 300 jenis kesenian, dengan kondisi sekarang: 200 an telah wafat, 50 an dalam kondisi sekarat akhir, 30 an sekarat awal, 10 dalam kondisi “ngos-ngosan” dan sekitar 10 lagi yang masih “hidup”. Apakah kondisi ini perlu ditangisi? Terserah. Hanya saja kalau mau sedikit gaya-gayaan, banyak orang yang mengatakan (terutama kalau pejabat berpidato) : “kesenian adalah kekayaan budaya yang bisa menjadi salah satu ciri dari suatu bangsa atau suku bangsa”. Secara retoris banyak pihak yang berteriak bahwa kesenian harus dilestarikan dan dikembangkan. Agar seperti lebih serius, sampai-sampai dibuatlah Perda; namun setelah Perda dibuat, apakah kemudian serius pula dilaksanakan, tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang.
Sebagai anak kandung masyarakat, idealnya masyarakatlah yang bertanggung jawab terhadap hidup dan berkembangnya kesenian ini. Tapi apakah masyarakat bisa diharapkan? Ada juga. Terutama kalau kesenian tersebut terkait dengan kehidupan keseharian masyarakat. Sebagai contoh, selama anak-anak di Sumedang dan Subang masih disunat, kuda renggong dan gotong singa masih tetap lestari. Tapi “tatanggapan” lainnya yang tidak terkait langsung dengan simbol sunatan itu sendiri, sama saja banyak yang tidak bisa manggung lagi.
Selengkapnya klik tautan berikut ini ...
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Ethnopedagogy"
Post a Comment